Jurnal Hukum dan Perdagangan Musim Semi
1997 Perkembangan Terkini Sehubungan dengan Cisg KESEPAKATAN KONTRAK
BERDASARKAN CISG del Pilar Perales Viscasillas
Nama Kelompok :
- Anggi
Mustika Sari (20210824)
- Hastanti
Rusvita Mei (23210182)
- Putri
Khoirunnisa (25210455)
- Rani
Nuraini (25210644)
- Rika
Agustina (25210942)
Kelas : 2EB06
I.Abstraksi
Dalam jurnal ini berisi tentang Jurnal Hukum dan Perdagangan
Musim Semi 1997
dibahas secara sistematis sehingga memudahkan
pembaca dalam memahami perkembangan terkini tentang kesepakatan kontrak
berdasarkan CISG.
II. Pendahuluan
Konvensi PBB tentang Kontrak untuk
Perdagangan Barang Internasional, yang juga dikenal sebagai Konvensi Wina
(selanjutnya disebut Konvensi atau CISG), saat ini merupakan bagian dari hukum domestik di sekitar
lima puluh negara. Penerimaan yang luas oleh negara-negara dengan sistem
sosial, hukum, dan ekonomi yang berbeda menunjukkan keberhasilan besar yang
telah dicapai oleh Konvensi. Bagian II dari Konvensi, yang ditujukan khusus
untuk kesepakatan kontrak dengan pernyataan tentang pertemuan dua kehendak (penawaran
dan penerimaan), merupakan contoh umum kompromi antara sistem hukum Civil
Law dan sistem Common Law. Penghalang yang paling besar pada saat
pencapaian penyeragaman normatif Konvensi Perdagangan adalah konfrontasi
hukum-teknis antara negaranegara
penganut Common Law dan negara-negara penganut Civil Law.
III.
Pembahasan
Kedua sistem tersebut dipertemukan di
dalam Konvensi untuk menunjukkan
permasalahan formatif dari kesepakatan kontrak dalam pemisahan
tradisionilnya menjadi dua
buah pernyataan kehendak (penawaran dan penerimaan). Kedua sistem
tersebut juga
menunjukkan perbedaan yang pada awalnya nampak tidak mungkin untuk
diselesaikan. Bahkan,
Bagian II dari Konvensi - penyusunan - seringkali membuktikan
kompromi antara negara-negara
dengan prinsip hukum yang berbeda: kontrak harga terbuka (pasal
14(1) dan 55), dapat
ditarik kembali dan tidak dapat ditarik kembalinya penawaran
(pasal 16); penawaran balik
(pasal 19); dan Teori Penerimaan sebagai waktu ketika
pernyataan-pernyataan kehendak
secara tertulis, termasuk kesepakatan kontrak, berlaku (pasal 23
dan 24). Semua pasal
tersebut menunjukkan keseimbangan yang sempurna antara berbagai
prinsip yang mendasari
sistem-sistem hukum tersebut. Keseimbangan tersebut tidak
mengimplikasikan bahwa peraturan
penyusunan yang ada dalam Konvensi (atau keseluruhan teks Konvensi
dalam hal ini) dibuat
atas dasar pemilihan common rule (ketentuan yang serupa)
yang paling sesuai untuk sistemsistem hukum yang berbeda tersebut. Sebaliknya,
Konvensi memiliki sistem khususnya sendiri yang dalam beberapa hal secara jelas
menunjukkan kompromi hukum. Meskipun demikian, kompromi tersebut dibangun atas
dasar pengaturan perdagangan internasional, yang tetap berada di bawah pengaruh
praktik-praktik dagang yang telah berkembang, di bawah bayang-bayang penerapan
secara permanen, serta dalam lingkup penafsiran yang sesuai dengan
prinsip-prinsip keseragaman, internasionalitas dan itikad baik.
II. Teori Klasik tentang Waktu Tercapainya Kesepakatan Kontrak
Waktu tercapainya kesepakatan kontrak biasanya dianalisa dengan
menggunakan empat
teori; sebagian besar dari teori-teori tersebut telah diadopsi
dalam beberapa sistem hukum. Teoriteori
tersebut adalah sebagai berikut:
A. Teori Deklarasi Berdasarkan Teori Deklarasi, kesepakatan
kontrak tercapai pada saat pihak penerima
penawaran menyatakan penerimaannya secara tertulis. Karena
komunikasi yang tidak
dialamatkan kepada pihak yang dituju tertentu dianggap hanya
sebagai pernyataan kehendak,
teori ini tidak diterima dalam Konvensi.
B. Teori Ekspedisi atau Pengiriman Berdasarkan Teori Ekspedisi
atau Pengiriman, kontrak terbentuk pada saat pihak
penerima penawaran mengirimkan penerimaannya kepada pihak pemberi
penawaran.
Konsekuensi dari Teori ini adalah bahwa resiko pengangkutan
ditanggung oleh pihak pemberi
penawaran. Konvensi mengadopsi Teori Ekspedisi sebagai
pengecualian terhadap
Prinsip Penerimaan sementara Undang-undang Hukum Dagang Spanyol
mengadopsi
teori tersebut untuk menentukan kapan kontrak disusun. Teori ini
juga telah diterapkan di
negara-negara lain.
C. Teori Penerimaan Tidak seperti teori-teori yang telah dibahas
sebelumnya, Teori Penerimaan
mempersyaratkan penerimaan pernyataan kehendak supaya kontrak
dapat terbentuk. Konvensi
Wina menggunakan Teori Penerimaan sebagai peraturan umum untuk
semua pernyataan
kehendak yang dibuat secara tertulis dan bentuk komunikasi apa pun
yang ditemukan di dalam
Bagian II. Dalam sistem Common Law, telah cukup dijelaskan
bahwa peraturan kotak
pos tidak berlaku apabila pihak penerima penawaran menggunakan
sarana komunikasi selain
surat atau telegraf, Teori Penerimaan digunakan untuk menentukan
susunan kontrak pada
saat pihak penerima penawaran menggunakan sarana komunikasi
langsung, seperti
faksimili, teleks, Pertukaran Data Elektronik (EDI) dan E-mail.
Teori ini
juga telah diterapkan di negara-negara lain.
D. Teori Informasi Teori Informasi merupakan teori penyusunan
kontrak yang paling kaku karena teori tersebut mempersyaratkan pengetahuan
tentang penerimaan agar kontrak dapat terbentuk. Konvensi Wina mengadopsi Teori
Informasi untuk penyusunan kontrak secara lisan.
Dalam sistem Common Law, kontrak lisan terbentuk pada saat
pihak pemberi penawaran
mengetahui penerimaan. Undang-undang Hukum Perdata Spanyol
menggunakan Teori
Informasi untuk menetapkan waktu terbentuknya kontrak perdata. Teori
Informasi juga
telah diterapkan di Venezuela.
IV.
Kesimpulan
Istilah “sampai” dalam Konvensi memiliki
arti yang serupa dengan istilah “menerima”
dalam butir 1-201 dari Uniform Commercial Code (UCC) Amerika
Serikat. Demikian
pula, dalam sistem hukum Jerman, “menerima” sejajar dengan
zugehen. Secara umum,
istilah tersebut serupa dengan Teori Penerimaan untuk pernyataan
tertulis dan Teori Informasi
untuk pernyataan lisan berdasarkan sistem hukum Spanyol.
Konvensi mengharuskan adanya komunikasi langsung kepada pihak yang
dituju, atau
penyampaian komunikasi ke tempat usaha atau alamat pos atau,
terakhir, apabila tidak ada
tempat-tempat tersebut, ke “tempat tinggalnya.” Oleh karena itu, apabila pihak pemberi
penawaran memiliki lebih dari satu alamat pos, alamat yang paling
erat hubungannya dengan
kontrak dan pelaksanaannya adalah yang paling sesuai. Apabila para
pihak belum menyepakati
tempat mana pun secara tegas, berdasarkan kebiasaan atau dengan
cara lain maka pasal 24 akan
diterapkan dan penyampaian ke tempat tinggal menjadi sah. Dalam
praktiknya, hal ini
merupakan kejadian yang tidak biasa.
Ada kemungkinan bahwa alamat yang diberikan oleh pihak pemberi
penawaran tidak
sama dengan tempat mana pun yang tercantum dalam pasal 24.
Contohnya, apabila pihak
pemberi penawaran telah menyepakati dengan perusahaan lain untuk
menerima pesan-pesannya
melalui faksimili tetapi tidak memiliki faksimili, komunikasi
mulai berlaku setelah penerimaan
pada alamat tersebut di atas. Pesan tersebut tidak perlu “sampai”
kepada pihak pemberi
penawaran agar mulai berlaku.
Komunikasi dapat “sampai” kepada sebuah pihak melalui penerimaan
oleh pihak ketiga.
Pihak ketiga tersebut harus merupakan wakil sah dari pihak mana
pun yang terkait. Para
ahli Konvensi setuju bahwa permasalahan yang terkait dengan
perwakilan kekuasaan yang cukup
sesuai dengan hukum domestik yang tidak seragam, yang akan
diterapkan karena perwakilan
adalah masalah keabsahan, harus diselesaikan. Pada akhirnya,
komunikasi kepada pihak
ketiga akan diatur oleh pasal 24 sama dengan apabila komunikasi
tersebut telah dilakukan secara
langsung ke tempat-tempat yang sesuai untuk menerima komunikasi.
Daftar Pustaka : www.google.com