Pages

Minggu, 03 Juni 2012

Review Jurnal Hukum Dagang (Revisi)

Jurnal Hukum dan Perdagangan Musim Semi 1997 Perkembangan Terkini Sehubungan dengan Cisg KESEPAKATAN KONTRAK BERDASARKAN CISG del Pilar Perales Viscasillas

Nama Kelompok :
-         Anggi Mustika Sari (20210824)
-         Hastanti Rusvita Mei (23210182)
-         Putri Khoirunnisa (25210455)
-         Rani Nuraini (25210644)
-         Rika Agustina (25210942)
Kelas                :       2EB06
 
 
 
I.Abstraksi
Dalam jurnal ini berisi tentang Jurnal Hukum dan Perdagangan Musim Semi 1997
dibahas secara sistematis sehingga memudahkan pembaca dalam memahami perkembangan terkini tentang kesepakatan kontrak berdasarkan CISG.
II. Pendahuluan
Konvensi PBB tentang Kontrak untuk Perdagangan Barang Internasional, yang juga dikenal sebagai Konvensi Wina (selanjutnya disebut Konvensi atau CISG), saat ini merupakan       bagian dari hukum domestik di sekitar lima puluh negara. Penerimaan yang luas oleh negara-negara dengan sistem sosial, hukum, dan ekonomi yang berbeda menunjukkan keberhasilan besar yang telah dicapai oleh Konvensi. Bagian II dari Konvensi, yang ditujukan khusus untuk kesepakatan kontrak dengan pernyataan tentang pertemuan dua kehendak (penawaran dan penerimaan), merupakan contoh umum kompromi antara sistem hukum Civil Law dan sistem Common Law. Penghalang yang paling besar pada saat pencapaian penyeragaman normatif Konvensi Perdagangan adalah konfrontasi hukum-teknis antara negaranegara
penganut Common Law dan negara-negara penganut Civil Law. III. Pembahasan
Kedua sistem tersebut dipertemukan di dalam Konvensi untuk menunjukkan
permasalahan formatif dari kesepakatan kontrak dalam pemisahan tradisionilnya menjadi dua
buah pernyataan kehendak (penawaran dan penerimaan). Kedua sistem tersebut juga
menunjukkan perbedaan yang pada awalnya nampak tidak mungkin untuk diselesaikan. Bahkan,
Bagian II dari Konvensi - penyusunan - seringkali membuktikan kompromi antara negara-negara
dengan prinsip hukum yang berbeda: kontrak harga terbuka (pasal 14(1) dan 55), dapat
ditarik kembali dan tidak dapat ditarik kembalinya penawaran (pasal 16); penawaran balik
(pasal 19); dan Teori Penerimaan sebagai waktu ketika pernyataan-pernyataan kehendak
secara tertulis, termasuk kesepakatan kontrak, berlaku (pasal 23 dan 24). Semua pasal
tersebut menunjukkan keseimbangan yang sempurna antara berbagai prinsip yang mendasari
sistem-sistem hukum tersebut. Keseimbangan tersebut tidak mengimplikasikan bahwa peraturan
penyusunan yang ada dalam Konvensi (atau keseluruhan teks Konvensi dalam hal ini) dibuat
atas dasar pemilihan common rule (ketentuan yang serupa) yang paling sesuai untuk sistemsistem hukum yang berbeda tersebut. Sebaliknya, Konvensi memiliki sistem khususnya sendiri yang dalam beberapa hal secara jelas menunjukkan kompromi hukum. Meskipun demikian, kompromi tersebut dibangun atas dasar pengaturan perdagangan internasional, yang tetap berada di bawah pengaruh praktik-praktik dagang yang telah berkembang, di bawah bayang-bayang penerapan secara permanen, serta dalam lingkup penafsiran yang sesuai dengan prinsip-prinsip keseragaman, internasionalitas dan itikad baik.
II. Teori Klasik tentang Waktu Tercapainya Kesepakatan Kontrak
Waktu tercapainya kesepakatan kontrak biasanya dianalisa dengan menggunakan empat
teori; sebagian besar dari teori-teori tersebut telah diadopsi dalam beberapa sistem hukum. Teoriteori
tersebut adalah sebagai berikut:
A. Teori Deklarasi Berdasarkan Teori Deklarasi, kesepakatan kontrak tercapai pada saat pihak penerima
penawaran menyatakan penerimaannya secara tertulis. Karena komunikasi yang tidak
dialamatkan kepada pihak yang dituju tertentu dianggap hanya sebagai pernyataan kehendak,
teori ini tidak diterima dalam Konvensi.
B. Teori Ekspedisi atau Pengiriman Berdasarkan Teori Ekspedisi atau Pengiriman, kontrak terbentuk pada saat pihak
penerima penawaran mengirimkan penerimaannya kepada pihak pemberi penawaran.
Konsekuensi dari Teori ini adalah bahwa resiko pengangkutan ditanggung oleh pihak pemberi
penawaran. Konvensi mengadopsi Teori Ekspedisi sebagai pengecualian terhadap
Prinsip Penerimaan sementara Undang-undang Hukum Dagang Spanyol mengadopsi
teori tersebut untuk menentukan kapan kontrak disusun. Teori ini juga telah diterapkan di
negara-negara lain.
C. Teori Penerimaan Tidak seperti teori-teori yang telah dibahas sebelumnya, Teori Penerimaan
mempersyaratkan penerimaan pernyataan kehendak supaya kontrak dapat terbentuk. Konvensi
Wina menggunakan Teori Penerimaan sebagai peraturan umum untuk semua pernyataan
kehendak yang dibuat secara tertulis dan bentuk komunikasi apa pun yang ditemukan di dalam
Bagian II. Dalam sistem Common Law, telah cukup dijelaskan bahwa peraturan kotak
pos tidak berlaku apabila pihak penerima penawaran menggunakan sarana komunikasi selain
surat atau telegraf, Teori Penerimaan digunakan untuk menentukan susunan kontrak pada
saat pihak penerima penawaran menggunakan sarana komunikasi langsung, seperti
faksimili, teleks, Pertukaran Data Elektronik (EDI) dan E-mail. Teori ini
juga telah diterapkan di negara-negara lain.
D. Teori Informasi Teori Informasi merupakan teori penyusunan kontrak yang paling kaku karena teori tersebut mempersyaratkan pengetahuan tentang penerimaan agar kontrak dapat terbentuk. Konvensi Wina mengadopsi Teori Informasi untuk penyusunan kontrak secara lisan.
Dalam sistem Common Law, kontrak lisan terbentuk pada saat pihak pemberi penawaran
mengetahui penerimaan. Undang-undang Hukum Perdata Spanyol menggunakan Teori
Informasi untuk menetapkan waktu terbentuknya kontrak perdata. Teori Informasi juga
telah diterapkan di Venezuela.
IV. Kesimpulan
Istilah “sampai” dalam Konvensi memiliki arti yang serupa dengan istilah “menerima”
dalam butir 1-201 dari Uniform Commercial Code (UCC) Amerika Serikat. Demikian
pula, dalam sistem hukum Jerman, “menerima” sejajar dengan zugehen. Secara umum,
istilah tersebut serupa dengan Teori Penerimaan untuk pernyataan tertulis dan Teori Informasi
untuk pernyataan lisan berdasarkan sistem hukum Spanyol.
Konvensi mengharuskan adanya komunikasi langsung kepada pihak yang dituju, atau
penyampaian komunikasi ke tempat usaha atau alamat pos atau, terakhir, apabila tidak ada
tempat-tempat tersebut, ke “tempat tinggalnya.” Oleh karena itu, apabila pihak pemberi
penawaran memiliki lebih dari satu alamat pos, alamat yang paling erat hubungannya dengan
kontrak dan pelaksanaannya adalah yang paling sesuai. Apabila para pihak belum menyepakati
tempat mana pun secara tegas, berdasarkan kebiasaan atau dengan cara lain maka pasal 24 akan
diterapkan dan penyampaian ke tempat tinggal menjadi sah. Dalam praktiknya, hal ini
merupakan kejadian yang tidak biasa.
Ada kemungkinan bahwa alamat yang diberikan oleh pihak pemberi penawaran tidak
sama dengan tempat mana pun yang tercantum dalam pasal 24. Contohnya, apabila pihak
pemberi penawaran telah menyepakati dengan perusahaan lain untuk menerima pesan-pesannya
melalui faksimili tetapi tidak memiliki faksimili, komunikasi mulai berlaku setelah penerimaan
pada alamat tersebut di atas. Pesan tersebut tidak perlu “sampai” kepada pihak pemberi
penawaran agar mulai berlaku.
Komunikasi dapat “sampai” kepada sebuah pihak melalui penerimaan oleh pihak ketiga.
Pihak ketiga tersebut harus merupakan wakil sah dari pihak mana pun yang terkait. Para
ahli Konvensi setuju bahwa permasalahan yang terkait dengan perwakilan kekuasaan yang cukup
sesuai dengan hukum domestik yang tidak seragam, yang akan diterapkan karena perwakilan
adalah masalah keabsahan, harus diselesaikan. Pada akhirnya, komunikasi kepada pihak
ketiga akan diatur oleh pasal 24 sama dengan apabila komunikasi tersebut telah dilakukan secara
langsung ke tempat-tempat yang sesuai untuk menerima komunikasi.
Daftar Pustaka : www.google.com